Implementasi Filosofi Kehidupan Sunan Kalijaga dalam Berbangsa dan Bernegara
Oleh : Letjen TNI (Purn) H. Sudi Silalahi
Menteri Sekretaris Kabinet RI
Menteri Sekretaris Kabinet RI
SALAH satu sosok figur
yang terkenal dalam Walisongo di pulau Jawa adalah Sunan Kalijaga.
Ketenaran Sunan Kalijaga ini dikarenakan beliau seorang ulama yang
cerdas dan arif. Kecerdasan dan kearifan yang dimiliki membuat beliau
mampu bersenyawa cepat dengan berbagai kalangan, khususnya masyarakat
bawah, yang berdampak terhadap kelancaran proses penyebaran ajaran Agama
Islam. Metode dakwah akomodatif berbasis kultur Sunan Kalijaga
merupakan determinasi penyebaran agama Islam berlangsung efektif dan
sukses, walaupun secara praktek dilakukan proses singkretisme pada aspek simbolnya, tetapi esensi ajarannya masih tetap ajaran Islam.
Proses inilah yang meluluhkan hati
masyarakat untuk berpindah dari penganut Hindu menjadi pemeluk Islam.
Metode ini lebih menghargai nilai-nilai luhur lokal masyarakat Jawa.
Karenanya tidak heran jika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan
Kalijaga lebih diterima oleh masyarakat Jawa kuno dengan cara yang
akomodatif, damai dan dengan kecerdasan pikiran serta perilaku yang arif
dan wicaksana.
Sosok Sunan Kalijaga
Sunan Klijaga memiliki nama asli Raden
Said, lahir pada tahun 1430-an M. Beliau merupakan putra Adipati Tuban
Jawa Timur, Wilatikta atau Aria Teja IV. Sedangkan Aria Teja I sampai
Aria Teja IV adalah keturunan dari Aria Adikara atau Patih Ranggalawe,
salah satu Patih yang juga ikut mendirikan kerajaan Majapahit pada masa
Raja Raden Wijaya.
Raden Said muda dikenal sebagai sosok
yang gigih melakukan pembelaan terhadap rakyat miskin. Beliau berani
menyuarakan kebenaran yang diyakininya. Pernah suatu ketika Raden Said
tidak setuju dan membangkang terhadap kebijakan Ayahnya sebagai Adipati
dimana puncak pembangkangannya dengan membongkar lumbung kadipaten.
Padi-padi yang beliau dapat dibagi-bagikan kepada rakyat miskin Tuban
yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, ayahnya mengadili
Raden Said dan mengusirnya dari istana kadipaten. Raden Said baru
diperbolehkan pulang jika sudah dapat menggetarkan seisi Tuban dengan
bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Maksudnya bila beliau sudah memiliki
banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya, saat
itulah beliau boleh pulang.
Raden Said kemudian menjadi perampok
terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur dan sekitarnya. Raden Said
hanya merampok orang-orang kaya raya yang tak pernah mau berzakat dan
bersedekah. Hasil rampokannya tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada
orang miskin. Atas tindakannya itulah, Raden Said mendapat gelar ‘Lokajaya’ atau ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah ketika Raden Said
bertemu Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Sunan
Bonang yang menasihatinya bahwa perbuatan baik tidak dapat diawali
dengan perbuatan buruk. Sesuatu yang benar (haq) tidak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang zhalim (bathil). Akhirnya, Raden Said bertobat dan berhenti merampok.
Raden Said diperintahkan melakukan
penyucian diri dengan bertapa di pinggir kali dengan syarat tidak boleh
berhenti sampai Sunan Bonang selesai dan kembali dari perjalanannya.
Dari sinilah nama Kalijaga diambil. Setelah Sunan Kalijaga menuntaskan
pelajaran dan wejangan dari Sunan Bonang, akhirnya Raden Said diterima
menjadi anggota Walisongo. Beliau kemudian menikah dengan Dewi Sarah,
anak dari Kanjeng Sunan Ampeldenta.
Filosofi Kehidupan
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan
Sunan Kalijaga yang perlu menjadi renungan kita bersama. Jika
pesan-pesan falsafah hidup Sunan Kalijaga ini kita pegang dan praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari, Insya Allah, kita akan dapat selamat di
dunia dan akhirat.
Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga adalah: ”Lamun
sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira
ancik-ancik untu lan tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging
lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran,
lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu
apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing galinggang.
Wohing galinggang wiwit saka ing
jeroning mancung, ya kuwi manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus
cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa. Perangan njaba, sira ketemu apa?
Sira ketemu tepes, sing watake enteng. Perangan njero maneh, sira ketemu
apa? Sira bakal ketemu batok (tempurung) sing watake atos (teguh dalam
prinsip). Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu
jatine wohing galinggang. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira
bakal ketemu banyu ya banyu perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira
ketemu apa? Sira bakal ketemu rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa).
Lamun sira menek maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing
tegese jatining nur, ya nur muhammad
Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah
Pohon Kelapa. Kenapa pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon
Kelapa itu mulai dari akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya
yang disebut janur semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh
dan kuat tidak pernah roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka
kita akan medapatkan buahnya. Kita akan bertanggung jawab, tidak
sombong, tidak mudah jatuh, kita ikuti tataran yang ada dalam batang
kelapa itu, kita akan selalu terus ke atas, kita akan memanjat dengan
hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang
dimaksud dalam falsafah hidup Sunan Kalijaga di atas? Tataran itu dapat
dimaknai sebagai aturan-aturan yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di
dunia, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-
peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di akhirat, maka
kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan akhirat yang
berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat, kita harus
mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan yang berlaku di dunia
dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan bermakna remaja, dan kerambil/kelapa bermakna dewasa.
Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus
dijalankan secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada
setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil
sampai meninggal dunia. Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan
dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu
selalu berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang
teguh pada aturan keagamaan berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar
selamat di akhirat nanti. Kalau pegangan tersebut dilaksanakan secara
konstisten dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi
takdir kematian kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti
bekerja keras, hati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa
untuk mencapai puncak hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang
dapat diambil kemanfaatannya. Hal itu dapat kita petik hikmah bahwa
dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi
peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan-peraturan dunia maupun
akherat – dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman,
kedamaian, dan kemamkmuran kita, masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu,
implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat bermakna dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju tercapainya
kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus memiliki niat
yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku –
baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati (tidak ceroboh)
dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil ’alamiin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (http://tabloidmasjidnus.wordpress.com)
Komentar
Posting Komentar