Masjid Pangeran Jayakarta
![]() |
Masjid Jami' Assalafiyah Jatinegara, Jaktim
(foto : wisatanesia)
|
Masjid Jami’ Assalafiyah atau juga dikenal sebagai Masjid Pangeran Jayakarta di kawasan Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur ini, tak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan Pangeran Jayakarta, penguasa terahir Jayakarta sebelum kekalahannya menghadapi serbuan pasukan VOC (Belanda) dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Kekalahan pasukan Pangeran Jayakarta dalam perang melawan VOC itu berakibat pada dibumihanguskannya Jayakarta oleh pasukan VOC termasuk keraton dan Masjid Kesultanan Jayakarta yang berdiri megah di sekitar kawasan yang kini dikenal sebagai Hotel Omni Batavia.
Belanda menganggap Pangeran Jayakarta tewas di dalam sebuah sumur di kawasan Mangga Dua, Jakarta, namun nyatanya yang diberondong peluru oleh pasukan Belanda di dalam sumur tersebut tak lebih dari selembar jubah dan sorban Pangeran Jayakarta yang sengaja dilemparnya ke dalam sumur tersebut untuk mengelabui pasukan Belanda, sedangkan beliau bersama para pengikutnya berhasil melarikan diri ke wilayah yang kini dikenal sebagai Jatinegara Kaum, membuka daerah baru serta mendirikan masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Jami’ Assalafiyah. Bahkan putra beliau yang bernama Pangeran Senapati diperintahkan untuk pergi sejauh mungkin dari Jayakarta untuk menghindari kejaran Belanda sekaligus menyebarkan ajaran Islam ke luar Jayakarta, pada ahirnya menetap di wilayah Cibarusah kabupaten Bekasi dan mendirikan Sebuah masjid yang dikemudian hari menjadi pusat perjuangan pasukan Hisbullah melawan penjajahan Belanda di wilayah Bekasi, masjid tersebut kini bernama Masjid Al-Mujahidin Cibarusah[[i]].
Lokasi Masjid Jami’ Assalafiyah
Masjid Jami’ Assalafiyah
Jl Jatinegara Kaum Raya No 208
Klender, Jakarta Timur
GPS: -6.202099,106.901184
View Masjid Jami’ Assalafiyah in a larger map
Akses angkutan umum menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal Pulogadung atau Pasar Klender adalah terminal yang terdekat dengan masjid. Dari Senen ada Metro Mini T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas 98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan dari Kampung Melayu ada Kopaja T-501.
Sejarah Masjid Jami’ Assalafiyah dan Sejarah Jakarta
Jayakarta 22 Juni 1527 - 12 Maret 1619
Sejarah kota Jakarta dimulai pada tanggal 22 Juni 1527, di awali dengan kemenangan Fatahillah yang memimpin pasukan gabungan Demak dan Cirebon dibantu oleh pasukan Banten mengalahkan dan mengusir Portugis yang bersekutu dengan Padjajaran dari Sunda Kelapa. Fatahillah merupakan panglima pasukan Demak di masa pemerintahan Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memerintahkan beliau untuk menggabungkan pasukkannya dengan pasukan dari Kesultanan Cirebon dibawah pemerintahan Syarif Hidayatullah [Sunan Gunung Jati]. Kemenangan Fatahillah atas Portugis di Sunda Kelapa yang kemudian setiap tahun diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta itu mengukuhkan kekuasaan Sunan Gunung Jati dan Islam atas Prabu Siliwangi dan Padjajaran, terlebih dengan juga lepasnya wilayah Banten dari kekuasaan Padjadjaran.
![]() |
Makam Pangeran Jayakarta di Masjid Jami’ Assalafiyah, Jatinegara - Jakarta Timur (foto : ceriwis.us) |
Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, beliau memegang langsung tampuk pemerintahan di Jayakarta selama beberapa bulan sebelum beliau memutuskan kembali ke Cirebon untuk memenuhi permintaan Sunan Gunung Jati guna memperluas wilayah kesultanan Cirebon ke wilayah sekitarnya seperti wilayah Talaga dan Rajagaluh. Setelah upaya penaklukan berhasil Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu, beliau memutuskan untuk menetap di Cirebon dan Jabatan Bupati Jayakarta diserahkan kepada Ki Bagus Angke atau Ratu Bagus Angke atau Pangeran Tubagus Angke. Disaat yang hampir bersamaan Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati dari istri keduanya Nyi Ratu Kawungaten yang juga putri mendiangadipati Banten, dinobatkan sebagai Sultan Pertama bagi Kesultanan Banten dengan gelar Sultan Maulana Hasanudin. Penobatan Sultan Maulana Hasanudin ini menandai berahirnya hegemoni Padjadjaran atas wilayah Banten sekaligus meneruskan kekuasaan kakeknya sebagai penguasa Banten[[ii]].
Lalu siapakah gerangan Tubagus Angke yang meneruskan pemerintahanFatahillah atas Jayakarta dan bagaimanakah silsilahnya ?, hingga kini tak ada data pasti mengenai hal tersebut. Penaklukan Sunda kelapa tahun 1522 tersebut terjadi 43 tahun setelah Sunan Gunung Jati Menikah dengan istri keduanya Nyi Ratu Kawungaten [putri adipati Banten]. Cukup masuk akal bila di tahun tersebut putra pertama Sunan Gunung Jati, Pangeran Sabakingking dinobatkan menjadi Sultan Banten yang pertama. Namun bila disebutkan bahwa Tubagus Angke adalah Putra dari Pangeran Sabakingking, bila ini benar, maka artinya Pangeran Sabakingking menikah pada usia muda dan Tubagus Angke pun pastinya menjabat sebagai penguasa Jayakarta dalam usia muda.
![]() |
Foto tua Masjid Jami’ Assalafiyah Jatinegara (foto : jakarta.go.id)
|
Namun hal tersebut bertentangan dengan Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 menyebutkan bahwaTubagus Angke merupakan menantu Pangeran Sabakingking [Sultan Maulana Hasanudin] bukan putranya, Tubagus Angke menikah dengan Ratu Pembayun, puteri Sultan Maulana Hasanuddin [[iii]]. Meski hikayat tersebut kemudian diragukan oleh Adolf Heukeun SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, menurut Adolf Heukeun SJ, silsilah ini tidak sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng.[[iv]].
Kekuasaan atas Jayakarta kemudian diteruskan oleh Pangeran Jakarta Wijayakrama[[v]] pada tahun 1596 menggantikan Tubagus Angke yang sudah berusia lanjut. Masih menurut Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante, Pangeran Jayakarta adalah putra dari Tubagus Angke. Namun situs pemerintah Jakarta Timur menyebutkan bahwa Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Akhmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun yang pasti dibawah pemerintahan Panegran Jayakarta ini, wilayah Jayakarta berkembang pesat, terutama di bidang perdagangan hasil bumi. membuat Belanda, melalui perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin berusaha di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
![]() |
Masjid Jami’ Assalafiyah dengan hamparan makam kerabat
Pangeran Jayakarta di komplek Masjid (foto : indra1705)
|
Pada November 1610, Belanda mendapat hak atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakerta, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619. Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris, yang waktu itu juga sudah punya markas di sisi barat muara Ciliwung. Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan.
Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan Inggris, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta. Akan tetapi, pada saat sama, Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon. Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorakporandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Kota Jayakarta dibumihanguskan oleh Belanda termasuk keraton dan Masjid Kesultanan Jayakarta yang berdiri megah di kawasan yang kini dikenal sebagai hotel Omni Batavia. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.
![]() |
Bangunan makam Pengeran Jakarta beserta kerabat dekatnya
dibangun dengan bentuk bangunan beratap joglo terbuka
(foto : thearoengbinangproject)
|
Berdirinya Masjid Jami’ Assalafiyah
Meski terusir dari Jakarta, Pangeran Jayakarta belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alidrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.
Dalam pertempuran pada sekitar Mei 1619 itu, pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. Menurut cerita Raden Jayanegara, juga keturunan Pangeran Jayakarta, menyebut, saat jadi buronan Belanda, kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur di Mangga Dua. Belanda menyangka Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur itu, yang kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta.
![]() |
Sumur bekas Pangeran Jayakarta membuang jubah & sorbannya
di kawasan mangga dua kini masih ramai dikunjungi peziarah
(foto : z-leppelin)
|
Dalam pelariannya dari kejaran Belanda, Pangeran Jayakarta tiba di hutan disebelah tenggara Batavia dan membangun basis pertahanan baru di kawasan hutan jati sepanjang kali sunter. Diperkirakan pada triwulan ke tiga tahun 1619 M basis baru tersebut diresmikan dan diberi nama Jatinegara, yang mempunyai arti : Jati = Sejati dan Negara = Pemerintahan. Jadi berarti Pemerintahan yang sejati. Setahun kemudian tepatnya tahun 1620 M beliau mendirikan masjid dengan tiang empat yang merupakan soko guru dan diberi nama Masjid Jami’ Assalafiyah yang bermakna tertua.
Konon selama dalam pelarian tersebut Pangeran Jayakarta memerintahkan putranya, Pangeran Senapati, menyelamatkan diri dari kepungan Belanda di bulan April-Mei 1619M sekaligus membangun pertahanan di kawasan pesisir dan pedalaman serta menyebarkan syiar Islam. Pangeran Senapati bersama pasukannya menyusuri pantai utara Jawa, melewati daerah Cabang Bungin, Batujaya, Pebayuran, Rengas Bandung, Lemah Abang, Pasir Konci hingga sampai di sebuah kawasan hutan jati. Kemudian Pangeran Senopati berhenti bersama pasukan dan keluarga yang masih menyertainya. Babat alas dimulai untuk membangun pemukiman baru yang dikemudian hari dikenal dengan nama Cibarusah, lalu mendirikan sebuah masjid disana, Masjid Al-Mujahidin Cibarusah yang pada awalnya dibangun oleh Pangeran Senapati, putra dari Pangeran Jayakarta masih berdiri kokoh di Cibarusah, kabupaten Bekasi, hingga kini.
![]() |
Status tanah masjid Jami’ Assalafiyah sudah disyahkan
sebagai tanah wakaf dari pangeran Jayakarta (foto : damnah)
|
Pangeran Jayakarta meninggal dunia pada tahun 1640M dan dimakamkan dekat Masjid Jami’ Assalafiyahbersama putranya, Pangeran Lahut, familinya Pangeran Sageri, istri Pangeran Sangiyang yaitu Ratu Rafiah serta Pangeran Suria. Makam dan Masjid Pangeran Jayakarta dipugar pertama kali pada tahun 1700 oleh Pangeran Sageri, pemugaran kedua tahun 1842 oleh Aria Tubagus Kosim. Pemugaran ketiga tahun 1969 oleh Gubernur DKI H. Ali Sadikin, dibangun dua lantai dengan membuat menara baru. Pemugaran keempat pada tahun 1992 oleh Gubernur DKI H. Suryadi Soedirdja, melalu Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Tahun 1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari Kesultanan Banten ini –karena Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda–, berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan di komplek masjid bertiang penyangga jati ini.
![]() |
Interior masjid Jami’ Assalafiyah, tersisa empat sokogurunya yang
masih menandakan masjid ini adalah masjid tua, itupun bahan -
kayunya sudah diganti dengan beton (foto : us.foto.detik)
|
Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Seperti nasib masjid tua lainnya, As-Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As-Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya –separuh bagian barat bangunan–. Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.
Komplek pemakaman ini baru dibuka untuk umum pada tanggal 23 Juni 1956,setelah sekian lama dirahasiakan. Selama waktu tersebut masyarakat umum menganggap bekas sumur tua yang di urug Belanda di kawasan mangga dua sebagai makam Pangeran Jayakarta. Kini bekas sumur tua itu masih dikeramatkan oleh warga. Di atas makam di sebelah kanan, dulu ada pohon "Deroak" besar. Pada bulan Agustus 1964, pohon tersebut ditebang untuk mendirikan bangunan bagi peziarah. Pembangunannya dibiayai oleh Departemen Agama RI bulan Juli 1964. Makamnya sendiri kemudian dipugar menjadi Taman Pangeran Jayakarta yang dibiayai oleh Gubernur Ali Sadikin[[vi]]. (http://bujangmasjid.blogspot.com/)
Foto Foto Masjid Jami As-Salafiyah
![]() |
![]() |
Interior Masjid Jami’ Assalafiyah (foto : ceriwis.us)
|
![]() |
Area parkir Masjid Jami’ Assalafiyah (foto : ceriwis.us) |
![]() |
Seperti masjid masjid tua lainnya di Indonesi, beduk turut
menjadi asesoris Masjid Jami’ Assalafiyah
(foto : thearoengbinangproject)
|
![]() |
Pintu utama masjid Jami Assalafiyah
|
Referensi
[ii] Hasan Basyari, Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya, Zulfana Cirebon, 1989.
Komentar
Posting Komentar