RELASI MASJID DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh Tontowi Jauhari

A.    Pendahuluan
Masjid sebagai sebuah simbul  keyakinan di tengah-tengah masyarakat, sebagai tempat sujud dalam rangka mendekatkan diri pada sang khalik, dan masjid memiliki hubungan emosional yang dekat dengan masyarakat. Sehingga keberadaan masjid saat ini di bangun dengan arsitektur yang begitu indah dan megah dangan biaya yang amat mahal.Akan tetapi sangat disayangkan, keindahan dan bahkan kemegahan bangunan masjid yang tersebar di berbagai penjuru negeri tidak menunjukkan tingkat kesejahteraan para jamaahnya, bahkan yang lebih ironis untuk biaya pemeliharaan masjid tersebut seringkali dilakukan dengan meminta-minta di pinggir jalan, sehingga menurunkan citra umat Islam.
Kemegahan masjid dan upaya meminta-minta di pinggir jalan sangat kontradiktif, hal ini mengindikasikan bahwa kondisi masyarakat Islam sesungguhnya belum menggembirakan, bahkan kekuatan sosial dan ekonomi saat ini dikuasai oleh mereka yang berada di luar masyarakat muslim (non muslim). Kondisi ini mendorong Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) untuk menjadikan masjid sebagai motor penggerak ekonomi umat, sekaligus mengembangkannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. dan Ketua Umum (Ikadi), Prof. Dr. Achmad Satori Ismail mengatakan masjid “Tidak hanya berperan sebagai aktifitas berdakwah saja tetapi ekonomi juga bisa digerakkan dari masjid juga,”[1]
Kondisi masyarakat Islam yang miskin bukanlah tanpa sebab dan solusi, Chamber (1983)[2] berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi – berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal.
Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup atau menurut Adi Sasono[3] kemiskinan bukan disebabkan karena faktor-faktor kultur dinamis, tetapi kemiskinan di sebabkan oleh kesempatan-kesempatan yang tidak diberikan atau kesempatan telah dihancurkan dari mereka.Kemiskinan atau ketiadaan access menurut Islam merupakan suatu hal yang membahayakan aqidah, akhlak, kelogisan berfikir, keluarga juga masyarakat.Islam memandang kemiskinan sebagai musibah dan bencana yang harus segera ditanggulangi.[4]
Ketiadaan access, hilangnya kesempatan, dan runtuhnya aqidah.Menuntut adanya peran untuk dapat membuka access yang hilang, memberikan kesempatan yang terampas dan mengembalikan aqidah yang terkikis oleh kemiskinan.Upaya pengembalian ini dikenal dengan pemberdayaan, Bryant & White (1987) menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin.Caranya dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.[5]
Dalam konteks yang lebih luas pemberdayaan didekati dengan pendekatan pengembangan kepada masyarakat (community development), yang dipandang sebagai proses pembentukan, atau pembentukan kembali struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam mengaitkan dan mengkoordinasikan kehidupan sosial serta kebutuhan manusia.[6]Dari isu-isu tersebut di atas diaharapkan bagaimana Masjid yang memiliki kedekatan dengan masyarakat mampu membangun kembali striktur-struktur yang telah dirampas, melalui lembaga keuangan mikro guna pemberdayaan masyarakat.
B.     Relasi Masjid dan Pemberdayaan
Relasi dimaksudkan adalah sebagai hubungan atau pertalian antara masjid dan pemberdayaan masyarakat.Masjid merupakan tempat sembahyang terutama shalat jum’at.[7]Masjid berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah suatu tempat sujud.Fungsi utama masjid adalah sebagai tempat sholat bersujud kepada Allah SWT, dan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan-Nya. Masjid merupakan tempat orang berkumpul dan melakukan sholat secara berjamaah dengan tujuan sebenarnya adalah meningkatkan solidaritas dan silaturrahmi di antara sesama kaum muslim.[8]
Masjid bila dilihaat dari tugas-tugasnya berperan sebagai[9]:
1.      Tugas utama dan pertama dari masjid adalah tempat sujud.
2.      Masjid tempat berkumpulnya muslim
3.      Masjid tempat mengumumkan hal-hal penting yang menyangkut hidup masyarakat muslim
4.      Masjid sebagai tempat belajar bagi orang-orang yang ingin mendalami addin
5.      Masjid tempat baitulmaal
6.      Masjid tempat menyelesaikan perkara
7.      Masjid sebagai tempat sosial
                Apabila kita kaji secara lebih dalam dan memperhatikan konteks masjid dewasa ini, sebenarnya sangat banyak fungsi masjid yang dapat dikembangkan untuk mengangkat harkat umat Islam. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:
1.      Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT;
2.      Masjid adalah tempat kaum muslimin beritikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin kegamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta kebutuhan pribadi;
3.      Masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat;
4.      Masjid adalah tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan;
5.      Masjid adalah tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama;
6.      Masjid dengan majelis taklimnya merupakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan muslimin;
7.      Masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat;
8.      Masjid tempat mengumpulkan dana, menyimpan, dan membagikannya;
9.      Masjid tempat melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial.[10]
Begitu pentingnya tugas dan peran masjid, maka masjid merupakan azas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Pembentukan masyarakat Islam tidak akan terwujud kecuali melalui semangat masjid.[11]Disinilah perlunya relasi masjid dalam membangun hubungan atau keterikatan masjid dengan fungsi-fungsinya demi terbentuknya masyarakat Islam.
Pembentukan masyarakat Islam yang diharapkan tidak lepas dari peran pemberdayaan.Istilah pemberdayaan(empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan.Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya.
Pemberdayaan amat dekat dengan konsep kemiskinan.Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidakmampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin.Beberapa konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis buat makan, (2) kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.Kemiskinan absolut menjadi fenomena negaranegara dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas garis kemiskinan tetapi rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3) kemiskinan missal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu negara atau wilayah dan hal ini membuatnya menjadi kompleks dalam proses mengatasinya.[12]
Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi:
1.      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)
2.      Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3.      Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4.      Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
5.      Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6.      Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.      Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
8.      Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.      Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).[13]
Pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasankemiskinan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut:
1.      Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan dan diakuipublik (good governance).
2.      Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasispada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia.
3.      Promosi pengembangan komunitas melalui kekuatan sendiri danberporos pada proses dibandingkan dengan penyelesaian suatuproyek.
4.      Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektifdan dilanjutkan dengan tindakan kolektif.
5.      Partisipasi penuh atau sebuah proses yanng melipatkan seluruhlapisan masyarakat (tanpa terkecuali) dalam pengembanganagenda komunitas.[14]
Konsep-konsep tentang tugas dan peran masjid, kemiskinan, dan pemberdayaan memerlukan peran sebuah lembaga yang dapat mewujudkan dalam bentuk tindakan,agar masjid dapat benar-benar menjalankan fungsi dan peran dalam konsep kekiniaan, yang dapat membantu pengentasan kemiskinan sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat muslim.
C.    Masjid Sebagai Pusat Ekonomi Umat
Salah satu pilar peradapan Islam adalah Ekonomi, dalam konteks ini Ibnu Khaldun mengatakan; Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah).Tanpa kemapanan ekonomi, maka kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan.Ekonomi penting untuk membangun negara dan menciptakan kesejahteraan umat.
Sumber keuangan umat Islam berupa Zakat, Infak, sedekah, wakaf dan lainnya merupak sumber keuangan yang bebas dari jebakan-jebakan kapitalis, dapat berdiri kokoh dengan bentuk pertanggung jawaban kepada sesama (sosial), pertanggung jawaban moral dan pertanggungjawaban kepada Allah. Sumber-sumber keuangan Islam saat ini belum mendapat perhatian yang serius, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri ada keengganan untuk membicarakan kajian-kajian ekonomi di dalam masjid (tidak jarang yang mengatakan bid’ah, tidak ada contah dari nabiSAW, ekonomi itu di pasar dan lain-lain), padahal fungsi masjid sendiri didalamnya berbicara persoalan-persoalan ekonomi.
Potensi sumber keuangan Islam merujuk kepada pendapat Erie Sudewo Wali Amanah Dompet Dhuafa (30 September 2010) dari dana zakat sebagai berikut: Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta jiwa, 80 persennya muslim atau 180 juta orang. Muslim sebanyak itu kita bagi dua, yakni kaya dan miskin, yang masing-masing berjumlah 90 juta orang.Untuk menghitung yang miskin didasarkan atas jiwa, sedangkan untuk yang kaya berdasarkan kepala keluarga. Misalnya, setiap kepala keluarga terdiri atas lima anggota keluarga, maka 90 juta dibagi lima menjadi 18 juta kepala keluarga. Namun demikian, kemampuan mereka tentu tidak sama, dan yang menjadi persoalan adalah berapa dari angka itu yang bersedia menjadi pembayar zakat (muzaki). Berkaitan dengan hal itu, zakat dipilah atas tiga potensi, yakni terendah, progresif, dan ideal.Potensi terendah adalah membayar zakat Rp50 ribu per bulan. Jika muzaki dihitung hanya 10 persen dari 18 juta kepala keluarga akan terhimpun Rp90 miliar per bulan atau Rp1,08 triliun per tahun. Potensi progresif dengan membayar zakat Rp100 ribu per bulan akan terhimpun Rp180 miliar per bulan atau Rp21,6 triliun per tahun. Potensi ideal adalah membayar zakat Rp150 ribu per bulan akan terhimpun Rp270 miliar per bulan atau Rp32,4 triliun per tahun.
Kalkulasi zakat yang dilakukan oleh Arie Sudewo, tampaknya belum menarik perhatian bagi pengurus masjid (Nazir Masjid), ketidak tertarikan pengurus masjid tentunya lebih disebabkan oleh mismanajemen dalam rangka pemakmuran masjid.Padahal pengurus mesjid, khususnya yang membidangi dakwah, sangat menentukan untuk kebangkitan kembali peradaban Islam seperti masa lampau.Pengurus mesjid sangat menentukan maju-mundurnya umat Islam. Pengurus mesjid yang berwawasan sempit akan memandang agama Islam sebatas ibadah dan aqidah hanya tertarik dengan kajian spiritual belaka, sehingga mereka mengundang para ustadz yang ahli fiqih ibadah dan ahli teologi/sufistik saja. Pengurus mesjid sangat jarang (kalau tak ingin mengatakan tak pernah sama sekali) memilih materi ekonomi Islam yang ruang lingkupnya sangat luas. Padahal mengkaji ekonomi syariah hukumnya wajib.[15]
Kajian-kajian ekonomi sebagai bentuk pemfungsian masjid yang memiliki relasi sangat erat dengan persoalan kemiskinan.Kesadaran tentang persoalan ekonomi dengan basic masjid merupakan paradigma yang terbarukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Fungsi masjid dalam bidang ekonomi telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dari fakta sejarah tersebut dapatlah disimpulkan bahawa masjid di masa awal Islam telah menjadi sebagai: (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat penyelesaian permasalahan umat dalam aspek hukum (peradilan), (4) pusat pendanaan ekonomi umat melalui Baitul Mal, (5) pusat informasi Islam, dan (6) Pernah menjadi sebagai pusat latihan tentera.
Fungsi masjid sebagai pusat ekonomi umat dapat melalui bentuk Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), merupakan rumah harta dan rumah pembiayaan/pengembangan harta secara konseptual memiliki dua fungsi, pertama Baitul Maal yang berfungsi menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Kedua, Baitut Tamwil yang berfungsi melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang kegiatan pembiayaan ekonominya. Fungsi ini dapat kita lihat pada BMT Beringharjo yang berada di pelataran Masjid Muttaqien Pasar Beringharjo Yogyakarta, Rumah Amal Salman ITB, i-Klinik ICMI dan lainnya
Selain baitul maal wa tamwil, fungsi masjid sebagai sebagai pusat ekonomi umat dapat berbentuk Lembaga Amil Zakat dan juga dalam bentuk Asuransi Syariah atau dalam bentuk yang lainnya. Lembaga-lembaga ini memiliki konsep pinjaman kebijakan yang diambil dari dana ZIS atau dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini, lembaga ekonomi umat yang terpusatkan di masjid tidak memilikirisiko kerugian dari kredit macet yang mungkin saja terjadi. Karena lembaga ini memiliki semacam jaminan/proteksi sosial melalui pengelolaan dana baitul maal berupa dana ZIS ataupun berupa insentif sosial, yakni rasa kebersamaan melalui ikatan kelompok simpan pinjam ataupun kelompok yang berorientasi sosial. Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahtera­an dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Dengan demikian, terjadi komunikasi antara dua kelas yang berbeda yang akan memberikan dampak positif kepada kehidupan sosial ekonomi komunitas masyarakat sekitar.
Dengan membuat sebuah program kegiatan ekonomi di masjid-masjid, maka diharapkan dapat mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni. Pada sisi lain kemitraan seperti ini juga akan meningkatkan kemampuan sumber keuangan umat dalam bentukBMT  atau yang lainnya, dan menjadi lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi ini akan menghantarkan mencapai kesejahteraan lahir dan bathin bagi masyarakat masjid khususnya.
D.    Simpulan
Dari paparan-paparan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Perlu mengembalikan fungsi masjid sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW, terutama dalam fungsi masjid sebagai pusat pendanaan ekonomi umat melalui Baitul Maal.
2.      Lembaga keuanggan umat sebagai lembaga keuangan alternatif tidak memiliki risiko keridit macet sebagaimana bank konfensional.
3.      Lembaga keuangan yang terpusatkan di masjid lebih memiliki proteksi sosial yang kuat dalam pemberdayaan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Adi Sasono, (edt. M. Amin Rais), Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Raja Grafindo, Jakarta, 1996.
Edi Suharto, Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin, Malang 12 April 2004
Handout, Training Fasiitasi Pemberdayaan Masyakarat kerjasama Inspirit Innovation Circles dan ACCESS pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba.
Jim Ife dan Frank Tesoriero, Community Developmen, (terj.Sastrawan Manullang), Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Robbani Press, Jakarta, 1999.
Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Al-husna, Jakarta, 1994.
Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat, dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Zikrul Hakim, Jakarta, 2005.
http://www.republika.co.id/, (tgl 10 oktob 2011)
http://www.aulia-kids.org




[1] (http://www.republika.co.id/, tgl 10 oktob 2011)
[2]Handout,Training Fasiitasi Pemberdayaan Masyakarat kerjasama Inspirit Innovation Circles dan ACCESS pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba, hal. 2
[3] Adi Sasono, (edt. M. Amin Rais), Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 100.
[4] Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat, dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Zikrul Hakim, Jakarta, 2005, hal. 24.
[5]http://www.aulia-kids.org
[6]Jim Ife dan Frank Tesoriero, Community Developmen, (terj.Sastrawan Manullang), Pustaka Pelajar, 2008, hal. 4.
[7]Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Al-husna, Jakarta, 1994, hal. 117
[9] Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Al-husna, Jakarta, 1994, hal. 126-130
[11] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Robbani Press, Jakarta, 1999, hal. 171
[12] Handout, Training Fasiitasi Pemberdayaan Masyakarat, kerjasama Inspirit Innovation Circles dan ACCESS pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba, hal. 1
[13] Edi Suharto, Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin, Malang 12 April 2004
[14] Handout, Training Fasiitasi Pemberdayaan Masyakarat, kerjasama Inspirit Innovation Circles dan ACCESS pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba, hal. 3

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer