Nekat Menjadi Muslim, meski Ditentang Keluarga


Mencari Hidayah Allah bagi Haritrianto ternyata tidaklah muda. Berbagai agama telah dipelajarinya untuk menemukan kebenaran hakiki. Terakhir dia menemukan. Islam dan menjadi mualaf Bagaimana kisahnya? Berikut penuturannya.
Namaku Hoo Young Cong. Namun setelah masuk Is­lam, nama saya diganti dengan Haritrianto. Alhamdulillah aku bisa menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah bersama istriku, Hj. Inda Ayuli Nurtin, be­berapa tahun silam.
Aku lahir di Situbondo, 14 Mei 1969 kemudian aku tinggal di Malang bersama keluarga yang kebetulan pindah ke kota itu. Na­mun, saat aku masih SMA aku kembali ke kota kelahirannku, Situbondo. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku dibesarkan dalam lingkungan beda keyakinan. Ibuku seorang penganut agama Kristen, ayah seorang Konghucu. Sementara aku sendiri mengikuti keyakinan ayah, meski sebenarnya dapat dikatakan bah­wa aku tidak beragama. Ini kare­na keyakinan yang kuikuti tidak murni berasal dari hatiku.
Mencari Agama
Ketika aku tumbuh semakin dewasa, aku mulai memikirkan agama yang akan aku anut. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu aku benar-benar membutuhkan pegangan untuk menjalani kehidupannku agar lebih terarah dan berguna. Ke­inginan yang kuat untuk meme­luk satu agama dan membangun spiritualitas agama yang masih tak jelas seperti itu membuatku selalu berusaha untuk mendapat­kan informasi mengenai agama.
Dari situ akhirnya aku beru­saha keras untuk memperdalam beberapa agama dengan banyak membaca referensi buku-buku agama Islam, Kristen, Katholik, Buddha, bahkan Konghucu. Dalam usaha pengukuhkan keyakinan pada Islam, aku juga banyak mengikuti kegiatan kero­hanian. Pengajian di beberapa tempat aku ikuti. Hal ini bertu­juan agar keyakinanku semakin teguh pada Islam.
Dari petualan­ganku tentang agama, akhirnya aku menemukan bahwa Islamlah agama yang paling cocok untuk hidupku. Ini karena semua aspek kehidupan telah dia­tur oleh Islam. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa aku memilih agama Islam. Akhirnya pada ta­hun 1986, saat aku masih kelas tiga SMP, aku menyatakan diri sebagai seorang mus­lim.
lkrar sebagai seorang muslim dilaksanakan dengan hikmat di sebuah Musalla di kota Malang. Mulai saat itu aku selalu ber­usaha untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan berbagai cara. Selain menjalankan ibadah, aku aktif dalam kegiatan keroha­nian seperti pengajian dan rema­ja masjid.
Ditentang Ayah
Perjalanan hidup menjadi seorang mualaf ternyata tidak­lah mudah. Aku harus berhada­pan dengan keluarga yang se­ bagian besar tidak setuju atas pilihanku terhadap Islam. Sebenarnya ibuku tak mempermasalahkan keputusanku untuk menjadi seorang mus­lim. Namun, ayah menentang keras dan tidak menyetujui keputusanku. Menu­rutnya, aku adalah satu-satunya laki – laki dalam keluarga yang seharusnya meneruskan nama marga keluarga.
Ayah benar-benar tak men­gizinkanku masuk Islam. Hingga pada suatu saat ayah memberi­kan pilihan padaku. Aku dihadap­kan pada pilihan yang sangat berat. Ia memintaku untuk kembali pada keyakinanaku sebelumnya atau keluarga tak menerima ke­beradaaanku.
Keseriusanku memeluk Islam sangatlah kuat sehingga aku tetap memilih beragama Islam. Konsekue­nsi yang harus kuterima adalah aku diasingkan dari lingkungan keluarga. Hubungan keluarga menjadi tidak seharmonis dulu. Bahkan, ayahku tidak me­menuhi kebutuhannku termasuk biaya sekolahku. Allah memberi­kan kemudahan bagiku untuk melanjutkan sekolahku. Beruntunglah bangku SMA masih kurasakan meskipun dari uluran tangan orang-orang yang iba pa­daku.
Bupati Situbondo adalah salah seorang yang membantuku membiayai sekolahku. Aku tidak tahu bagaimana itu dapat terjadi. Tetapi yang terpenting, aku sa­ngat bersyukur meskipun bangku perkuliahan tidak kurasakan.
Perang dingin yang ter­jadi dalam keluarga membuat hubunganku dengan ayahku merenggang dalam waktu yang cukup lama. la masih belum bisa menerimaku. Namun sekitar dua tahun yang lalu tepatnya sebe­lum aku menunaikan ibadah haji dan sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia menghargai keputusanku dan menerimaku kembali.
Mendirikan PITI
Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga aku mempunyai kewajiban untuk mengajarkan Islam kepada istri dan kedua anakku, Shofy dan Shorim. Aku selalu berusaha untuk menanam­kan konsep Islam yang menye­nangkan pada anak-anakku. Aku ingin menunjukkan bahwa Islam itu Indah.
Sempat salah seorang anakku yang masih duduk di bangku sekolah dasar merasa ter­bebani dengan Islam dan mem­bandingkan dengan agama lain. Misalnya dari segi ibadahnya, shalat lima waktu dan puasa yang dirasa memberatkannya.
Salah satu usaha yang ku­lakukan adalah dengan memba­ngun sebuah musala di samping rumahku. Aku harap dengan musala itu aku bisa menum­buhkan kembali rasa cinta anak - anakku pada Islam.
Selain sebagai kepala rumah tangga dan berwiraswasta, kesibu­kanku saat ini adalah sebagai sek­retaris DPC PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Situbondo. Pada awal tahun 1990-an kami mendirikan PITI dengan dibantu beberapa kawan seperti Dr H A Syahroni dan juga Komaluddin Santos.
Tujuan PITI sebagai wadah bagi mualaf Tionghoa untuk menempu ilmu serta mempererat tali silaturahim. Aku juga selalu berusaha untuk menjalin tali si­laturahim dengan para ulama di kotaku dengan tujuan agar keya­kinan semakin mantap dan diridhai Allah SWT.
NURANI, Edisi 384 tahun VII (Minggu I, Mei 2008)

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer