Masjid Tua di Belakang Adisucipto: Sebuah Catatan tentang “Sense of Place”
Kalo Relphs di tahun 1972 merilis bukunya yang berjudul Place and Placelessness,…yang kurang lebih isinya tentang ruang-ruang arsitektur dan ruang kota yang mudah “diingat” atau “dicitrakan” dan ruang-ruang yang “mudah dilupakan” maka beberapa paragraf dibawah ini adalah untuk mengingat kembali apakah kata-kata Relphs hampir 40 tahun yang lalu itu masih relevan…selamat membaca…:)
We live, act and orient ourselves in a world that is richly and profoundly differentiated into places, yet at the same time we seem to have a meagre understanding of the constitution of places and the ways in which we experience them (Relphs, 1972).
Meski sudah 2 kali saya mengunjungi tempat ini, sebuah tempat yang entah mengapa saya selalu lupa menyebutnya…hanya nama yang selalu terngiang adalah Masjid Tua di belakang Bandara Adisucipto. Mungkin “bandara” sebagai modern “place” telah lebih “mudah diingat” dibandingkan nama obyek bangunan masjid itu sendiri. Paling tidak untuk saya (untuk ikut menyepakati pembenaran kata-kata Juliet’s Shakespeare… “What’s in a name? That which we call a rose
By any other name would smell as sweet”…heheh
By any other name would smell as sweet”…heheh
Teman yang mengajak saya datang ke tempat ini menyebut masjid ini adalah salah satu dari sekian Masjid Pathok Negoro di Yogyakarta. Yaitu sebuah sebutan untuk beberapa masjid tua yang sengaja dibangun oleh pihak pemerintah Mataram Yogya di abad 19 untuk “memagari” negara, atau paling tidak ibukota, Ngayogyakarta Hadiningrat. Benar atau tidaknya masjid ini adalah salah satu masjid Pathok Negoro, saya sendiri belum tahu, tapi secara arsitektural bangunan ini memang memiliki tipologi sebagaimana masjid-masjid kraton di jawa lainnya, yaitu masjid piramidal bersusun tiga.
Menyusuri jalan menuju masjid ini lebih saat ingat, yaitu dari jalan solo kita musti belok ke selatan naik ke jembatan layang, lalu belok kiri di kawasan blok O, jalan pedesaan yang cukup kontras dengan ringroad yang cenderung menjadi “highway”. Selokan kecil dengan air bening di kiri jalan sulit dilupakan, sebelum kita tiba-tiba disergap rimbunan tebu gula yang akan mengantar kita ke lorong menuju Masjid Tua ini.
Cahaya matahari belum sempurna pagi itu, tapi justru pendar sinarnya yang mengenai beberapa bagian dinding bangunan dengan pohon beringin tua yang menjaganya menjadi tampak sempurna. memasuki halaman masjid, seperti masuk ke pintu waktu, dikala beberapa ratus tahun lalu tempat ini makmur oleh penyebaran islam di kawasan sekitarnya.
Architecturally speaking, desain masjid dan tatanan lansekapnya nampak begitu harmonis. bangunan yang simetris, elemen kolom kayu dan permainan warna hijau kuning membawa citra masjid jawa yang sangat kental. Meski dengan proporsi bangunan yang tidak sebesar masjid di angkatannya, namun justru proporsi bangunan ini nampak sempurna dengan konteks lingkungannya. Masih sebagaimana masjid jawa yang lainnya, di belakang bangunan ini terdapat makam yang dihuni oleh pendiri dan orang-orang di jamannya yang berkait langsung atau tidak dengan tempat ini.
Suasana hening, sepi, dan syahdu lebih dominan di tempat ini. Saya bahkan tidak tahu apakah masjid tua ini digunakan sebagai Friday Mosque atau tidak. Meski secara luasan, saya kira sangat memenuhi syarat. Satu hal, dulu masjid ini pasti pernah makmur. Ramai, dan digunakan oleh masyarakat sekelilingnya. Namun sejak pemukiman di sekitarnya digusur pada saat perluasan pembangunan bandara di tahun 1970an masjid ini menjadi sendiri. Ditinggalkan komunitasnya. (dari http://arifa.staff.uii.ac.id/)
Komentar
Posting Komentar