Duka Ustadz di Pedalaman Nias

Selama ini kami lulus dan tetap tegar melanjutkan dakwah di pedalaman dalam kondisi miskin. Kini, Engkau, ya Allah Rabbul Izati, memberi kami ujian yang jauh lebih berat. Engkau ambil kedua anak kami yang Engkau titipkan pada kami. Dengan ujian ini, apakah saya dan keluarga tetap istiqamah atau justru meninggalkanmedan dakwah ini. 
Oleh: Dwi Hardianto
Sudah beberapa bulan terakhir, atas dukungan pembaca majalah Sabili dan CyberSabili, media ini bisa mendukung program dakwah di pedalaman Nias, Provinsi Sumatera Utara. Program yang dikomandani Ustadz Qoimuddin Sarabiti (dari al-Azhar Peduli Umat) ini, sukses membina 23 KK atau sekitar 100 orang jamaah yang sebagian besar merupakan mualaf.
Ustadz kelahiran Flores, Januari 1972 ini, telah bertugas di pedalaman Nias, tepatnya di Desa Hili Hambawa, Kecamatan Botomuzoi, Kabupaten Nias Induk, selama lebih dari tiga tahun terakhir. Atas usaha kerasnya pula, sejak Juli 2011 lalu, tujuh anak dari keluarga mualaf Nias bisa menempuh pendidikan ke jenjang berikutnya. Ketujuh anak inilah yang mendapat bantuan pendidikan dan biaya hidup dari pembaca majalah Sabili dan CyberSabili.
Di tengah-tengah kabar gembira ini, sejak sebelum Ramadhan Sabili menerima kabar duka yang menimpa keluarga Ustadz Qoimuddin di Nias. Putri kedua sang ustadz yang bernama Aisyah Fajriyah (12 tahun) dipanggil Allah SWT setelah menjalani perawatan intensif di RS Advent Medan selama sepekan. Siswi kelas VI SD Muhammadiyah Gunungsitoli ini menghembuskan nafas terakhirnya, Selasa malam (21 Juni 2011) ba’da shalat Isya.
Mendengar kabar ini, Sabili hanya bisa menghela nafas panjang sambil melafalkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Sebelumnya, sekitar akhir Februari 2011, Sabili juga menerima kabar yang sama. Saat itu, Ustadz Qoim mengabarkan jika putra pertamanya, Safiq Faqihuddin (16 tahun) dipanggil Allah SWT setelah menjalani perawatan intensif di RSU Gunungsitoli. Siswa Madrasah Aliyah Negeri Gunungsitoli ini, meninggal dunia pada hari dan jam yang sama dengan adiknya, Selasa malam (21 Februari 2011) ba’dha shalat Isya.
Memperoleh kabar beruntun ini, Sabili pun tergerak untuk menelusuri, apa yang sebenarnya terjadi? Alasan medis apa yang menyebabkan kedua putra Ustadz Qoim harus dirawat intensif di RS hingga akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir?
Kepada Sabili, Ustadz Qoimuddin menuturkan, tanda-tanda awal yang menimpa putra sulungnya adalah mual dan muntah. Tapi ketika mual dan muntahnya bisa diatasi, tiba-tiba tangan dan kakinya mendadak lumpuh. Gejala yang menimpa Safiq Faqihuddin ini terjadi ketika baru saja sepekan menginjakkan kaki di Nias, Agustus 2010.
Padahal, selama di Jawa hingga menempuh pendidikan di Pesantren Darul Ilmi Bandung, ia anak yang sehat. Hobinya, main sepak bola, voly, tenis meja dan olah raga lainnya. Artinya, secara umum ia sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit seperti yang ia alami ketika berada di Nias hingga menyebabkan kematiannya.
Waktu itu, Safiq langsung dibawa ke Jakarta untuk diperiksa dan diopname di RS. Hasil diagnose dokter menyimpulkan bahwa Safiq mengalami kekurangan kalsium. Dokter pun melakukan pengobatan untuk mengatasi kekurangan kalsium itu hingga sembuh. Setelah dirawat sekitar 1 pekan, ia dinyatakan sehat oleh dokter dan diperbolehkan pulang. Ia juga sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Maka, Safiq pun kembali ke Nias dengan naik kapal laut.
Sampai di Nias pagi hari. Ia sehat seperti biasa. Tapi malam harinya, Safiq tiba-tiba lumpuh lagi. Ia pun dibawa ke dokter di Gunungsitoli dan diberi meredion untuk mengatasi gangguan syaraf kakinya. Alhamdulillah ia sembuh. Anehnya, sekitar dua bulan kemudian, ia mual dan muntah lagi. Badannya panas tinggi dan lemas. Safiq pun dibawa ke RS Gunungsitoli. Baru diberi infus untuk botol kedua ia menghembuskan nafas yang terakhir.
Berselang empat bulan, pada Juni 2011, gejala yang sama tiba-tiba menimpa Aisyah Fajriyah (12 tahun), adik Safiq. Awalnya, ia muntah-muntah. Meski begitu, ia masih bisa bermain dengan teman-temannya. Karena kondisinya makin lemas, maka ia dibawa ke dokter di Gunungsitoli. Alhamdulillah sembuh. Pagi harinya, Aisyah yang sedang menempuh ujian nasional SD mengikuti ujian untuk hari pertama.
Malam harinya setelah menyiapkan ujian hari kedua, ia tidur seperti biasa. Tapi ketika bangun pagi harinya, kondisi tubuhnya lumpuh total. Kaki dan tangannya sama sekali tak bisa digerakkan. Padahal, sama seperti kakaknya, Aisyah juga tidak memiliki riwayat medis seperti yang menimpanya kali ini.
Lalu, Ustadz Qoim menelepon temannya, seorang dokter yang pernah bertugas di Nias dan sekarang bertugas di Medan. Ustadz Qoim mengatakan, “Dokter, anak saya yang kedua sakit. Gejalanya sama dengan kakaknya.” Dokter itu menyarankan, “Ustadz, bawa segera ke RS Advent di Medan, kebetulan saya bertugas di situ. Soal biaya jangan dipikirkan, nanti saya bicarakan dengan teman-teman di Medan.”
Aisyah pun di bawah ke Medan dengan ferry dan melanjutkan perjalanan darat dari Sibolga ke Medan. Sampai di Medan langsung diopname. Dua hari menjalani perawatan sama sekali tak ada perubahan. Setelah diinfus 2 botol, Aisyah mengalami infeksi saluran kencing. Setelah infeksinya berhasil diatasi, gejalanya berubah, yakni gula darahnya naik 190. Akhirnya, semua organ tubuhnya mengalami gejala tak normal. Setelah 3 hari dirawat di ICU Aisyah pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Rukyah
Seusai penguburan Aisyah, dokter RS Advent yang pernah menangani kedua kasus ini mengatakan pada ustadz Qoimuddin. “Ustadz, sakit ini di luar kemampuan akal kita sebagai hamba Allah SWT. Sudah semampu kami berusaha mengatasinya, tapi sampai meningalnya kedua putra ustadz, kami tidak pernah tahu apa sebenarnya penyakitnya itu? Selama saya bertugas di Sumatera Utara dan Nias, belum pernah ada kasus seperti yang menimpa anak ustadz.”
Sang dokter justru menyarankan pada ustadz dan keluarganya untuk melakukan rukyah. “Ustadz, panggilah temen-temen untuk merukyah ustadz dan keluarga ustadz, karena pengobatan medis tak bisa memberi jawaban.” Akhirnya, ustadz dan keluarganya pun di rukyah di Medan. Setelah poses rukyah yang cukup lama, akhirnya tim rukyah menyimpulkan bahwa dari tanda-tanda yang ditemukan keluarga Ustadz Qoim terkena sihir dan sejenisnya.
Tanda-tanda yang diyakini tim rukyah antara lain, pada saat istri Ustadz Qoim dirukyah, terjadi dialog antara istri Ustadz Qoim (dalam kondisi tak sadar) dengan ustadz yang merukyah. Istri Ustadz Qoim mengatakan, “Pendatang berani-beraninya ingin mengubah Nias”, “Apakah karena merasa berilmu makanya mau membuat apa saja di Nias”, dan kalimat lain yang intinya mencerminkan ketidaksenangan dengan aktivitas dakwah Ustadz Qoim di Nias.
Ustadz Qoimuddin menuturkan, kemungkinan besar “serangan” ini terjadi karena saya mengislamkan beberapa warga Nias dan membimbing keislaman orang-orang Nias yang sebelumnya pernah bersahadat tapi tak terbina. “Intinya, aktivitas dakwah ini menimbulkan kecemburuan sosial, bahkan muncul tuduhan Islamisasi. Mereka menganggap saya dan semua ustadz yang dikirim dari luar Nias sebagai pendatang yang melakukan Islamisasi di Nias,” ujarnya.
Apalagi, tambah Ustadz Qoim, dakwah Islam di Nias kian maju dan banyak mendapat dukungan warga setempat. “Inilah yang saya rasakan. Keberhasilan dakwah meski masih kecil ini, membuat mereka tak senang. Mereka pun akhirnya melakukan “serangan” pada para dai dan keluarganya. Akhi harus tahu, yang namanya pedalaman di pelosok Indonesia umumnya masih memiliki magic yang ganas. Saya hanya bisa menghadapinya dengan tetap ber-ta’alub pada Allah SWT,” tuturnya.
Sebagai hamba Allah, Rabb Penguasa Jagat Raya ini, kita hanya bisa menyerahkan persoalan ini seraya memohon pertolongan pada Allah SWT, karena sebagai manusia pengetahuan tentang yang ghaib sangat terbatas.  Hanya di Allahlah yang mengetahui semua perkara ghaib ini. “Katakanlah: ’Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah,” (QS an-Naml [27]: 65).
Tetap Istiqamah
Menghadapi peristiwa ini, Ustadz Qoim tak patah arang apalagi meninggalkan medan dakwah. Peristiwa ini justru mengazamkan pada dirinya bahwa dakwah menegakkan Islam tidak akan pernah berhenti sampai disini. Bahkan pada saat penguburan kedua anaknya, ia berdoa: “Ya Allah, semoga kedua anak ini, yang pada hakikatnya adalah milik Engkau, titipan Engkau, amanah Engkau, bisa menjadi saksi, bagaimana perjuangan seorang dai, menjadi saksi perjuangan dakwah di pedalaman Nias ini.”
Selama ini, lanjut Ustadz Qoim, ia dan keluarga selalu menerima ujian kemiskinan. “Alhamdulillah, kami sekeluarga bisa lulus dan tetap tegar melanjutkan perjuangan dakwah di berbagai daerah pedalaman dalam kondisi miskin. Kini Engkau, ya Allah Rabbul Izati, memberi kami ujian yang jauh lebih berat. Eangkau ambil kembali kedua anak kami yang Engkau titipkan pada kami. Dengan ujian ini, apakah saya dan keluarga tetap istiqamah di jalan dakwah atau justru meninggalkan medan dakwah ini.”
Kepada teman-teman dai di seluruh Nias dan daerah pedalaman lainnya di seluruh Indonesia, Ustadz Qoim berpesan, jangan Anda melihat kejadian yang menimpa keluarganya membuat nyali, semangat, dan keistiqamahan teman-teman menurun, bahkan berbalik meninggalkan medan dakwah. “Saya minta pada teman-teman dai yang ada di pedalaman di seluruh negeri, tetaplah berjuang menegakkan misi Islam di daerah tugasnya masing-masing,” tegasnya.
Apalagi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Ustadz Shuhada Bahri juga memberikan motivasi pada Ustadz Qoim. Ustadz Shuhada menelpon dan mengatakan, “Anda adalah kader saya, Anda bukan sekadar dai tapi misionaris Islam. Saya tahu, sewaktu merekomendasikan antum ke al-Azhar untuk bertugas di Nias, semata-mata karena antum mampu mengatasi berbagai persoalan di lapangan.”
Intinya, ujar Ustadz Qoim, para guru dan ulama banyak yang memberikan nasihat padanya dan keluarganya agar tetap tegar dan istiqamah di jalan dakwah. Meski begitu, dukungan dan sport dari ustadz, dai, dan lembaga dakwah lainnya dari seluruh Indonesia sangat diperlukan. Jika tidak bisa menetap di Nias, bantuan bisa datang secara bergilir untuk meringankan kerja dakwah para dai yang saat ini bertugas di kepulauan yang berada di pantai barat Sumatera Utara ini. Semoga. (https://www.facebook.com/notes/karawang/duka-ustadz-di-pedalaman-nias/10150266682321966)

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer