Geliat Dakwah di Kota Rusa

Hasil gambar untuk masjid di merauke
Terletak di ujung timur Indonesia, potensi pengembangan Islam di Merauke cukup menjanjikan. Tapi AIDS dan GPK mengancam.
Merauke adalah `Kota Rusa`, begitu orang menyebutnya. Bukan apa-apa, daerah ini memang penghasil daging rusa terbesar di Irian Jaya (sekarang Papua —red). Bagi mereka yang sering melancong, jangan lupa membawa cendera mata terbuat dari kulit rusa, seperti dompet, ikat pinggang, tas, dan sebagainya. Memang ada kerajinan dari kulit buaya, tapi tidak sebesar dan semenarik kulit rusa ini.
Selain rusa, masih ada cerita lain: Sepanjang mata memandang, terbentang hamparan rawa dan rimbunnya pepohonan. Merauke memang dataran rendah. Lebih dari separo wilayahnya di bagian barat, termasuk Pulau Dolak, penuh rawa-rawa, tumbuhan bakau, pepohonan nipah berbaur dengan tumbuhan rawa.
Tanahnya datar dan bergelombang memanjang arah utara-selatan sejajar dengan perbatasan Republik Papua Nugini. Di sebelah utara, antara tapal batas Kabupaten Pegunungan Jayawijaya dengan pegunungan Papua Nugini berjajar pegunungan Jayawijaya. Di antara geografi alamnya yang seperti itu terbentang sungai terbesar di sini, yakni sungai Uvimmeral.
Sepanjang aliran sungai, menyediakan banyak keanekaragaman hayati (biodiversity). Ada berbagai jenis ikan, udang, hingga binatang buas buaya. Namun sungai-sungai itu tidak menyediakan batu sama sekali. Bagi masyarakat yang ingin membangun rumah, biasanya mereka menggunakan batu-bata sebagai pondasi, pengganti batu gunung.
Karena langkanya batu, di sini ada anekdot cukup menggelitik. Bila Anda dihadang seekor anjing gila di jalan, kemudian secara reflek Anda menggambil posisi jongkok seolah mengambil batu, jangan harap anjing itu akan lari sebagaimana umumnya. Mereka mengerti bahwa Anda melakukan itu hanya untuk menakut-nakuti. Dan, baginya, strategi Anda itu adalah sebuah tipuan yang sungguh tidak lucu.
Di tengah haru biru suara reformasi, kota yang terletak dekat perbatasan negara Papua Nugini dan berada pada ketinggian 8 meter dari permukaan air laut ini, relatif lebih tenang daripada ibukota provinsi, Jayapura. Padahal jauh sebelum terjadi reformasi, Merauke termasuk salah satu daerah yang senantiasa menjadi `pekerjaan rumah' aparat keamanan. Seperti yang dikatakan oleh Muflih, Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah Merauke, di antara keramaian pasar Ampera, pasar terbesar di Merauke, kerap terjadi teriakan-teriakan bernada pembebasan. Sekelompok orang beryel-yel, “Hidup Papua Merdeka!”. Bahkan sebelum arus reformasi bergulir fenomena itu sudah kerap muncul. Wajar, bukankah Merauke dekat dengan perbatasan Indonesia dengan negara tetangganya, Papua Nugini? Bagi mereka yang tidak senang dengan negara kesatuan, letupan-letupan ketidaksetujuan diekspresikan dalam yel-yel seperti itu. Sejauh ini tampaknya aparat keamanan (TNI) masih mampu meredam secara baik.
AIDS dan pendatang
Saat ini jumlah penduduk Merauke sekitar 310.724 jiwa. Selain pedagang, pegawai dan wiraswastawan, para petani yang didatangkan ke kawasan yang sering disebut orang sebagai “Mutiara Hitam” dari timur ini juga cukup besar. Disebut mutiara hitam lantaran Merauke terkenal dengan wisata suku Asmatnya. Masyarakat suku Asmat adalah sebuah kekayaan budaya tak ternilai. Ia menjadi komoditi penting penggali devisa selama pemerintahan Orde Baru. Asmat menjadi pemberitaan dunia karena cucu Rockefeller pernah hilang ketika bertualang di daerah Asmat ini.
Bila dibandingkan dengan tempat lain di Papua, Merauke tercatat sebagai penerima transmigran terbesar. Hingga akhir tahun 1996-1997 di Merauke telah ditempatkan 2.842 KK/ 9.491 KK yang tersebar di beberapa lokasi seperti di Jagebob X, Bupul VII, Bupul, Muting VII, dan sebagainya.
Desa transmigran paling timur barangkali adalah Desa Sota (sekitar 80 km dari Merauke). Bila Anda melakukan perjalanan dari kota Merauke, cobalah dilanjutkan ke sana. Sekitar lima belas menit kemudian, Insya Allah Anda akan sampai di wilayah Taman Nasional Wasur, suatu wilayah yang ditandai dengan bertebarannya rumah-rumah semut warna merah —kadang abu-abu— setinggi sekitar tiga meter. Dari Taman Nasional Wasur ditambah dua jam kemudian, Pos Sota di Desa Sota sudah tercapai. Tapi itu bila cuaca lagi baik. Bila hujan turun, perjalanan dua jam itu harus ditempuh setengah hari atau bahkan lebih. Motor atau kendaraan akan terpental-pental lantaran jalan menuju desa ini belum beraspal. Di pos itu berjaga dua prajurit dan seorang polisi. Mereka memegang senjata otomatis jenis M-16, guna mengantisipasi datangnya perusuh.
Di pinggir Pos Sota, ada satu tugu setinggi lima meter. Itulah tugu Merauke. Di puncaknya bertengger patung burung garuda berwarna emas. Ada pula relief peta Indonesia. Di sana juga ada selembar marmer. Ada pula tulisan dengan bunyi begini: “Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa Kita. Tanah Air Pasti Jaya Untuk s'lama-lamanya. Indonesia Pusaka. Indonesia Tercinta, Nusa, Bangsa, dan bahasa, kita bela bersama. Merauke 16 Desember 1994.” Di tengah pergolakan saat ini, entahlah, sampai kapan idiom-idiom itu masih dipertahankan masyarakat Merauke...
Di Desa Sote terdapat 300 KK yang didatangkan dari Jawa. Di tengah lingkungan tempat tinggal mereka, di situ ada sebuah masjid beratap seng, berwarna perak. Bangunan masjid itu tampak sangat sederhana, sama dengan perumahan penduduk kebanyakan yang sebagian besar terbuat dari sibitan (papan) kayu.
Kantor Imigrasi terletak di situ. Begitupun sebuah tugu perbatasan berbentuk segi empat dengan ketinggian 1,75 meter. Tertulis di situ: 141 1' 10''E 825' 45S. Maksudnya, lokasi itu di garis bujur timur 141 derajat 1 menit 10 detik, dan garis lintang selatan 8 derajat 25 menit 45 detik. Garis pembatas itu ditentukan oleh Pemerintah RI dan Australia pada 23 Agustus 1967.
Perbatasan itu tak berdinding dan tak berpagar, juga tidak ada sungai yang membelah kedua negeri —Indonesia dan Papua Nugini. Suasana perbatasan tampak damai dan tenang. Tak ada ketegangan. Sedangkan Kampung Papua Nugini berjarak sekitar 17 kilometer dari sini.
Setiap tahun, jumlah transmigran yang didatangkan ke kawasan ini meningkat. Tak heran bila kota kecil Merauke ini semakin ramai. Masalah yang dihadapi Merauke pun semakin banyak. Mungkin karena lokasinya yang jauh di ujung timur Indonesia itu, ditambah dengan sistem keamanan yang relatif longgar, membuat warga asing sering seenaknya keluar masuk Merauke. Kloplah sudah, sebab kehadiran para imigran asing di sana dengan girang akan disambut para mucikari yang menyediakan para WTS yang didatangkan dari pulau Jawa dan Sulawesi. Problem selanjutnya pun bisa ditebak. Penyakit AIDS di sini tumbuh subur.
Berdasar data Kanwil Departemen Kesehatan per 31 Maret 1998, Kabupaten Merauke tercatat sebagai daerah endemik tinggi di Indonesia. Mereka yang mengidap pengakit HIV/AIDS ada 132 jiwa. Bahkan dalam data terbaru dari Departemen Kesehatan Merauke dan Yayasan Santo Antonius (Yasanto), jumlah pengidap itu menjadi 156 orang. Sebanyak 106 orang dari WNI dan 50 orang lainnya warga Thailand. Artinya, per 100.000 penduduk terdapat 44 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Jakarta yang penduduknya sekitar 10 juta jiwa, meski jumlah kasusnya terbanyak di Indonesia, 181 kasus, namun secara proporsi `hanya' 1,81 per 100.000 penduduk.
Karenanya Merauke menjadi kota kedua yang memiliki shelter (sanggar kerja) untuk pendampingan pengidap HIV/AIDS. Sanggar kerja di bawah Yasanto itu didirikan 31 Maret 1998 lalu. Sanggar tersebut merupakan sanggar kedua setelah Sanggar kerja Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta. Kedua yayasan tersebut dikelola oleh Nasrani. Sudah sejak lama mereka memang memiliki kepedulian yang cukup besar menyangkut kasus-kasus sosial seperti itu.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bimas Islam, di Merauke saat ini terdapat lebih dari 87 orang wanita rawan sosial (WTS) yang rata-rata berumur antara 18 sampai 30 tahun.
Pendatang-pendatang asing terbanyak berasal dari Thailand. Mereka menempati urutan teratas. Saat ini, di Merauke ada 867 tenaga kerja dari negeri Gajah Putih itu yang bekerja di sektor industri dan pengolahan. Jalan-jalan ke Merauke, bagi orang Thailand, jauh lebih mudah daripada para transmigran Jawa yang kadang memakan waktu sampai setengah bulan.
Aktivitas dakwah
Luas wilayah Kabupaten Merauke membentang di atas tanah seluas 119.749 km atau 28,87 % dari luas seluruh propinsi Papua. Aktivitas dakwah di sana cukup baik. Dukungan terhadap kelangsungan aktivitas dakwah itu antara lain diberikan oleh mereka yang bekerja di instansi pemerintah, para pedagang, dan para wiraswastawan. Ibaratnya, sekalipun jauh meninggalkan kampung halaman, agama dan ajaran Islam tetap dekat dan dikembangkan di tempatnya yang baru. Mereka kompak saling bergotong-royong. Sebagai misal, saat kaum Muslimin memerlukan sebuah masjid yang reprensentatif, mereka urunan mendirikan masjid Muhajirin yang lokasinya di tengah pasar Ampera. Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 30 X 40, dua lantai. Lokasinya tepat di tengah-tengah pasar.
Sementara itu tidak kurang dari 20 lembaga Islam turut meramaikan dakwah di kawasan ini. Sebutlah misalnya, Yayasan Pendidikan Islam (Yapis), Pondok Pesantren Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI), Pesantren Hidayatullah, dan Pondok Pesantren An-Najah.
Kelompok-kelompok pengajian cukup lumayan, kalau tidak dikatakan tumbuh dengan subur. Pendatang dari Enrekang, Sulawesi Selatan, kerap menyelenggarakan pengajian yang bergabung dalam kelompok pengajian `Hikmah`. Yang berasal dari Sumatera Barat, mereka menjalin komunikasi dan silaturrahmi dalam `Ikatan Keluarga Minang,` dan sebagainya.
Saat ini jumlah kaum Muslimin di Merauke lebih dari sepertiga jumlah penduduk keseluruhan. Berdasarkan informasi yang diterima dari Bimas Islam, di Kecamatan Merauke terdapat 51.400 ummat Islam, sementara di Kabupaten Merauke ada terdapat 83.110 kaum Muslimin.
Secara keseluruhan di kota Merauke terdapat 234 masjid/langgar. Jumlah tenaga muballigh yang bertugas di kawasan ini secara kuantitas cukup banyak, yakni mencapai 437 orang. Bandingkan dengan jumlah rohaniawan dari Katolik (45 orang), Protestan (88 orang), Hindu (7 orang), dan Budha (1 orang).
Jumlah da'i yang cukup besar itu lantaran rasa tanggungjawab pendatang yang cukup besar terhadap pembinaan dakwah ummat Islam di kawasan ini. Sebagian besar pegawai negeri. Jumlah mereka yang full time tidak lebih dari separonya. Sementara rohaniawan dari kalangan Nasrani adalah tenaga-tenaga terlatih, yang secara khusus mennyediakan diri menjadi juru gembala bagi kepentingan ummatnya.
Kalau di Jawa dikenal Wali Songo, dakwah di Merauke ini tidak menutup kemungkinan turut dipengaruhi oleh kehadiran beberapa tokoh Islam zaman Orde Lama yang dibuang Belanda ke kawasan Digul. Di antara mereka adalah: Bung Hatta, Bung Syarir, H Muchtar Luthfi, Iljas Yakob, M Kasan, Teuku Radja Budjang, dan beberapa nama lainnya.
(http://www.oocities.org/)

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer