Muslim Nias Merana


Merana. Itulah kata yang tepat untuk melukiskan kondisi umat Islam di Pulau Nias. Pulau seluas sekitar 5.600 km2 itu berpenduduk 700 ribu jiwa, dan Islam sekitar, 38 ribu saja (5,75%).
Merana dalam bahasa Nias disebut marase, belakangan kalimat ini sering terdengar dari masyarakat minoritas muslim Nias. Bagaimana tidak, ketika beberapa bulan yang lalu team dari Rumah Infaq melakukan survei untuk pembangunan masjid Raya Al-Furqan di Pulau NIas, banyak diantara kaum muslimin minoritas Nias yang terus mengeluh tentang kondisi ekonomi mereka yang semakin hari semakin parah.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti curhat dari salah seorang masyarakat desa Gamo, dulu masyarakat muslim yang memiliki sekoci (kapal besar untuk membawa beberapa perahu nelayan untuk memancingikan). Sekarang jadi terbalik, satupun muslim tidak lagi memiliki sekoci, sehingga mereka terpaksa numpang dengan pihak lain.
Belum lagi situasi alam atau laut yang sulit diprediksi, sehingga jika angin kencang dan laut bergelombang, mereka tidak bisa mencari nafkah, yang berakibat dapur mereka ikut berbadai juga, (mobadenasi, mobadebowoageda). Ditambah sering kali kalau mereka melaut, ikan pun sulit didapat, sehingga untuk makan saja susah. Kata salah seorang masyarakat di desa Olora.
Mereka tidak ada waktu lagi memikirkan masa depan, memikirkan agama, memikirkan bagaimana Islam di Pulau Nias, karena sehari-hari disibukkan dengan urusan perut. Bantuan dan perhatian dari pemerintah beberapa tahun terakhir ini belum mereka rasakan, sampai-sampai ada yang memilih merantau untuk mencari kehidupan di luar Pulau Nias.
Yang menyedihkan dan sekaligus mengagetkan, tanah dan rumah mereka yang disamping masjid pun dijual kepada pihak lain, karena mereka berani membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan sesama muslim. Seperti yang terjadi di Kelurahan Ilir dan Tohia.
Terlebih-lebih setelah terjadinya pemekaran pada tahun 2009, awalnya hanya satu kabupaten, sekarang menjadi empat kabupaten dan satu kota. Tidak lama lagi Pulau Nias juga akan menjadi provinsi, pisah dengan Provinsi Sumatra Utara. Tentu bagi minoritas muslim Nias menjadi tantangan dan peluang agar kedepan bisa menjadi pemain yang memberikan kontribusi dalam pembangunan Nias.
Mestinya, walau muslim Nias minoritas dari segi jumlah, tapi bagaimana mayoritas dari segi kualitas. Harapan tentu masih tebuka lebar, selagi terus memaksimalkan ikhtiar dan doa, dan yang tidak kalah penting bagaimana peran dari kaum muslimin di Indonesia, dimanapun berada, agar memberikan perhatian kepada saudaranya muslim Nias, terutama dibidang ekonomi dan pendidikan.
Kalau kondisinya seperti saat ini, tanpa dukungan dari kaum muslimin, tentu dimasa yang akan datang sulit bagi minoritas muslim Nias untuk menjadi pemain, baik di pemerintahan maupun di swasta, akan tetapi minoritas muslim Nias hanya akan menjadi penonton atau bahkan akan menjadi korban. Wana’udzubillahmindzalik. (http://ppmrumahinfaq.com/?p=209)

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer