Belajar Toleransi dari Masjid dan Gereja yang Satu Tembok

Masjid dan gereja yang berdampingan.
Masjid dan gereja yang berdampingan.

Pendeta Nunung Istining Hyang, pimpinan di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan, mengaku suara azan dari masjid sebelah yang didengarnya memang mengganggu. Demikian pula, di masjid sebelah, dia menilai tentu merasa terganggu juga dengan aktivitas gereja ketika penyelenggaraannya kebetulan bersamaan.
Namun, tingkat gangguan itu tentu tidak lantas merusak jalannya ibadah masing-masing. Pihaknya selalu berkomunikasi dengan pengurus masjid jika di gereja akan dilaksanakan ibadah kebaktian yang melibatkan banyak orang, katanya ketika dijumpai penulis bersama sejumlah peneliti dari Kementerian Agama, Kamis (21/8) siang.
Pihak masjid pun demikian. Jika punya acara seperti Isra Mi'raj atau Maulid Nabi, pihak gereja menunda acara kebaktian. Setelah acara penting di masjid selesai, gereja baru melaksanakan kebaktian. Saat Ramadan berlangsung, kegiatan malam hari di gereja disesuaikan dengan acara di masjid.
Jika Idul Adha akan tiba, pihak masjid memberi tahu dan minta izin menempatkan ternak (sapi dan kambing) di parkiran halaman depan gereja. Jika kotoran ternak bertebaran di halaman gereja, umat Muslim membersihkan dengan dibantu umat Nasrani.
Dahulu, saat buka puasa pihak gereja ikut memberi kontribusi. Setelah dipersoalkan orang luar, bantuan makanan buka puasa, atas kesepakatan bersama dihentikan.
Jika peralatan pengeras suara rusak untuk hari-hari besar Islam, gereja pun ikut membantu. Begitu pula, tatkala gereja punya acara besar dan minta bantuan pengurus masjid agar tak mengeraskan suara azan, malah pengurus masjid tak menggunakan pengeras suara saat azan sama sekali. "Kami merasa dihormati sekali," kata Nunung.
Pak Haji sebelah, maksudnya takmir Masjid Al Hikman H. Nasir AB, juga datang ke gereja setelah rituan Natal selesai. Jika ada hari besar Kristen seperti Natal, pengurus masjid selalu berkomunikasi. "Kami pun sering berkomunikasi dengan pengurus masjid sehingga dalam menjalankan ibadah, kami tidak pernah menghadapi masalah," katanya.
Teori dalam ilmu sosial menjelaskan bahwa kedua umat berbeda dalam menjalankan ibadah tanpa saling menggangu disebut sebagai toleransi.
Sungguh benar, dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat dikenal dengan istilah toleransi. Misalnya, toleransi beragama, penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.
Namun, dalam realitasnya, toleransi, dalam pemahaman awam, dimaknai bahwa pihak luar (kamu) harus paham apa dan siapa diri (ku). Dalam praktik keseharian, bagi dua penganut agama berbeda di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 Solo itu, toleransi dimaknai saling memahami, menghormati, saling kasih, dan membantu satu sama lain. Jadi, tak sebatas menghormati saja, jauh dari itu. Walau beda penghayatan (akidah), dalam berbuat kebaikan satu sama lain terpelihara dengan baik.
Kehadiran dua rumah ibadah tersebut bagi setiap anak bangsa yang menyaksikan bangunan tersebut dari tepi jalan, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Pertanyaan sederhananya kok, bisa bangunan itu berdiri berdampingan. Apakah ketika melaksanakan ritual ibadah masing-masing pemeluknya (baik Kristen dan Islam) tidak saling mengganggu atau terganggu tanpa sengaja.
Bagaimana jika ada suara azan berkumandang dari Masjid Al Himah, sedang umat Kristen di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan yang di sebelahnya tengah melaksanakan kegiatan pelayanan umat seperti kebaktian. Paling tidak, rapat dan seluruh aktivitas sosial ikut terganggu. Bohong, kalau ada orang yang mengaku kedua umat tersebut merasa tidak terganggu.
"Ya, terganggu. Akan tetapi, toh, kami (umat Kristen dan Islam di sini) sudah puluhan tahun bisa melaksanakan ibadah dengan baik," kata Pantas, anggota Satpam Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan.
sumber: REPUBLIKA.CO.ID

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer