Masjid Jami' Peneleh, Jejak Sunan Ampel di Kampung Peneleh

Masjid Jami' Peneleh, Jejak Sunan Ampel di Kampung Peneleh  
Masjid Jami Peneleh, Surabaya. TEMPO/Kukuh S Wibowo
 
Berdiri di tengah pemukiman padat penduduk, masjid besar berarsitektur kuno itu tampak kokoh. Kesan tempo dulu makin terlihat jelas bila menilik interior di bagian dalam. Masjid Jami’ Peneleh, nama masjid di Jalan Peneleh V Surabaya tersebut, memiliki sepuluh tiang penyangga dari kayu jati. Seluruh langit-langitnya juga dari kayu jati.

Langit-langit itu berhias huruf Arab, berisi nama empat sahabat Nabi Muhammad, yakni Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Tembok masjid dikelilingi 25 ventilasi dan lima daun jendela. Di masing-masing ventilasi tersebut terdapat hiasan aksara Arab berupa nama-nama 25 nabi.

Tak banyak catatan ataupun referensi mengenai masjid bermenara besar ini. Namun masyarakat setempat mempercayai bahwa Masjid Jami’ Peneleh dibangun Sunan Ampel pada 1421 atau lebih tua bila dibandingkan dengan Masjid Ampel sendiri.

Keyakinan itu diperkuat oleh sekelumit catatan di buku ensiklopedia Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr MR TGS Mulia dan Prof. Dr. KAH Hadding. Dalam ensiklopedia itu disebutkan bahwa Sunan Ampel yang juga bernama Ali Rahmatullah berpindah dari kampung Kembang Kuning ke Peneleh. Di tempat baru itu Rahmatullah mendirikan sebuah masjid yang lebih besar ketimbang “musala tiban Kembang Kuning.”

Setelah beberapa waktu berdiam di Peneleh, Rahmatullah pindah lagi ke daerah Dento dekat pesisir utara. Di sana dia dipinjami lahan cukup luas oleh Raja Majapahit. Akhirnya di atas tanah pemberian raja itu didirikan sebuah masjid Dento Ampel. Nama Dento Ampel berubah menjadi Ampel Dento hingga sekarang.

Heru, 54 tahun, pengurus Masjid Jami’ Peneleh, menuturkan bagunan dalam masjid masih asli. Pada 1970-an serambi masjid diperluas tanpa mengubah ornamen dalam. “Keaslian masjid ini tetap dipertahankan,” ujar Heru yang juga warga asli Peneleh, Kamis (19/8) siang.

Heru memperkirakan, Rahmatullah mendirikan masjid di tempat itu karena dulunya merupakan daerah ramai. Maklum, kampung Peneleh berada tepat di sisi timur Kali Mas, sungai yang menjadi urat nadi lalu lintas perairan pada masa itu. “Dalam angan-angan kami, Sunan Ampel ingin menyebarkan Islam dari tempat ini karena strategis,” kata dia.

Menurut Heru, sampai saat ini cerita-cerita gaib tentang masjid tersebut masih lekat di hati masyarakat sekitar. Misalnya, di dalam masjid, tepatnya di tempat jemaah perempuan, terdapat bekas sumur. Bibir sumur itu hanya selebar satu buah keramik sehingga selalu tertutup rapat.

Konon, sebelum tempat jemaah perempuan dibangun, sumur buatan Sunan Ampel itu terletak di luar masjid sebelah kiri. Sampai saat ini, kata Heru, air sumur tersebut banyak diburu orang. “Tapi kami ndak berani mengambil airnya, bila ada yang membutuhkan cukup kami ambilkan air dari tempat wudu,” kata dia.

Pada masa perang kemerdekaan 1945, menurut Heru, kubah masjid itu pernah tersambar meriam Belanda yang ditembakkan dari arah Jembatan Merah. Tapi kubah itu tidak hancur dan hanya bagian sisi timur yang sedikit mengalami kerusak. “Langit-langit yang jebol kena meriam itu langsung diganti,” ujar Heru.

Uniknya, sampai kini masjid tersebut masih menggunakan jam istiwa untuk pedoman melihat waktu salat. Jam istiwa adalah penunjuk waktu berdasarkan arah condong matahari. Tapi tidak setiap hari kunci jam istiwa yang berada di bagian depan masjid itu dibuka. “Kami melihatnya pada saat-saat tertentu, utamanya setiap lima hari sekali,” kata Heru.

Sayang masjid tua itu kini seperti terbenam di tengah pemukiman. Pamornya kalah dengan masjid-masjid bersejarah lainnya, seperti Masjid Ampel, Masjid Kemayoran, Masjid Kembang Kuning atau yang lebih baru, Masjid Al Akbar. “Yang salat di sini masyarakat sekitar masjid saja,” kata Heru.
sumber: http://www.tempo.co

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer