Pesona Muslim di Pedalaman Timor

Muslim di NTT terbilang minoritas, mengingat NTT dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Gereja karena mayoritas penduduknya beragama nasrani. Keterbalikan dari pulau tetangganya, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disebut Pulau Seribu Masjid.
Jalan menuju desa Oeue hanya jalan biasa, beraspal rapi tanpa berlubang sepanjang puluhan kilometer. Setibanya di Desa Pisan, Kecamatan Amunaban Timur, jalan mulai berubah. Naik turun bukit melintasi jalan terjal berbatu, meniti jembatan kayu bahkan menyeberangi sungai berbatu tanpa jembatan. Sepintas tidak ada yang berbeda antara desa ini dengan desa lainnya di TTS, struktur bangunan rumahnya sama persis. Dinding yang terbuat dari batang pohon Gebang, beratap jerami. Rumah berukuran kecil seperti mangkuk terbalik, mirip tenda dome dengan satu pintu. Di sini mereka menyebutnya ume kbubu.
pesona muslim di pedalaman TImor
Akan tetapi perbedaan besar Desa Oeue dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Oeekam. Desa Oeue adalah satu-satunya desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tercatat 1.028 jiwa atau sekitar 312 kepala keluarga beragama Islam yang tinggal di desa tersebut.
Tingkat religiusitas masyarakat Oeue terlihat dengan adanya empat masjid yang berdiri dan berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah semata. Mereka juga menggunakan masjid untuk membahas segala persoalan kemasyarakatan yang biasa dipimpin oleh Kepala Desa Oeue, Arifin Nobisa, Masing-masing masjid terletak cukup strategis dan selaras, dua masjid berdiri di dua batas desa, dua lainnya di tengah desa. Sehingga segala informasi tentang keummatan di seluruh desa dapat terjaga dengan baik. Misalnya saja, ketika ada seorang warga yang diketahui murtad (keluar dari agama Islam), maka secara cepat dapat diketahui dan diselesaikan sebaik-baiknya. Jika penyebabnya faktor ekonomi, maka permasalahan itu pun dirundingkan dan kemudian dicarikan jalan terbaik untuk menyelesaikannya.

Secara umum, kondisi perekonomian masyarakat Oeue boleh dibilang dibawah garis kemiskinan. Mereka masih tinggal di umekbubu yang sangat sederhana, sebagian besar bahkan berukuran kecil dan tanpa alas.
Wanita-wanita di Oeue, terbiasa mengenakan jilbab atau kerudung mulai dari anak-anak hingga yang dewasa. Sayangnya, jilbab dan kerudung mereka terlihat sangat lusuh tak berwarna cerah, “Ini saja yang kami punya…” kata seorang Ibu. Artinya, mereka tak punya cukup jilbab atau kerudung untuk berganti setiap hari. Bahkan beberapa ibu mengaku tak punya sehelai kain untuk menutup bagian kepalanya.
Lokasi desa yang berada di pedalaman membuat mereka tak banyak memeroleh informasi seperti halnya kita yang setiap detik bisa mendapatkannya dengan sangat mudah. Keterbatasan akses pun dirasakan berkenaan dengan urusan perekonomian. Jauhnya desa dari perkotaan yang merupakan sumber perekonomian membuat mereka bertahan hidup dengan mengandalkan hasil pertanian seadanya. Tanah di Oeue memang terlihat lebih subur dan hijau dari desa-desa lain di sekitarnya, hal tersebut menyebabkan udara di sekitar Oeue lebih segar. Atas dasar itulah Zulkarnain Nobisa, pria berumur tigapuluhtujuh tahun, yang sudah belajar di Bandung, memberdayakan warga desa untuk mengembangkan beragam jenis tanaman yang bisa dijadikan bahan makanan yang tidak hanya untuk makan sehari-hari, melainkan untuk dijual ke kota. Zul bercita-cita meningkatkan taraf hidup warga Oeue dan memajukan desanya, meskipun berada jauh di pedalaman.
Dengan modal seadanya, mereka mengembangkan usaha perikanan dengan membuat beberapa tambak. Semangat Zul dan segenap masyarakat Oeue untuk bertahan dalam kehidupan dan juga ketaatan beragama, seolah tengah memberi satu pertunjukkan tentang episode perjuangan sebuah komunitas yang berupaya menjadi mandiri nan bermartabat. Sebuah perjuangan yang patut mendapat dukungan dari siapapun yang peduli atas keberlangsungan komunitas ini di pedalaman Timor.
sumber: www. dakwatuna.com

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer