Menyusuri Jejak Islam di Tanah Bima

Sebagai sebuah daerah bekas kerajaan dan kesultanan, Bima memiliki banyak obyek wisata religi baik pra islam maupun jejak –jejak kejayaan islam di masa lalu. Situs dan obyek tersebut tersebar di seluruh pelosok Bima dan sayang untuk tidak dikunjungi. Menurut catatan sejarah, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.
Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.
Masjid Pertama Di Bima

Lokasi masjid ini terletak di dataran tinggi yang di kelilingi oleh pegunungan yang berhutan lebat dan terpencil dari Dusun dan Desa lain. Nama dusun ini adalah Kalodu atau yang dikenal juga dengan Kamina. Pada masa sekarang Dusun Kalodu telah menjadi desa Kalodu yang merupakan wilayah kecamatan Langgudu dan berjarak lebih kurang 75 Km di sebelah selatan Kota Bima.
Masjid kuno ini oleh masyarakat Mbojo (Bima) diberi nama “ Sigi Kalodu atau Sigi Kamina” (Sigi berarti Masjid). Didirkan sekitar tahun 1621 M. Oleh jena Teke La Kai ( setelah memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir ), bersama beberapa Mubalig dari Sulawesi Selatan ( Goa, Tallo, Luwu dan Bone ) dan para pengikut Jena Teke Abdul Kahir ( Jena Teke berarti Putera Mahkota ). Sigi Kalodu merupakan masjid kuno tertua di Bima setelah Masjid kuno Kampo NaE ( Kampung NaE ) kecamatan Sape. Masjid ini juga didirikan oleh para mubalig dari Gowa, Tallo, Luwu dan Bone, beberapa tahun sebelum Masjid Kalodu dibangun.
Bangunan masjid berbentuk segi empat sama sisi ( bujur sangkar ) dan tidak memiliki migrab seperti lazimnya sebuah Masjid pada masa berikutnya. Empat sisi yang sama itu merupakan simbol empat orang putera dan keluarga Raja yang memeluk Agama Islam yaitu La kai ( Abdul Kahir ), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin ), La Mbilla ( Jalaluddin ) dan Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese ( Sirajuddin ). Selain itu empat buah sisi bangunan merupakan simbol daerah assal para gurunya yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.Tiang bangunan masjid ada delapan, yang berbentuk nggusu waru (segi delapan) merupakan simbol dari empat orang putera dan keluarga Istana dan empat daerah asal para ulama yang menjadi Guru mereka yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.

Langgar kuno Di Melayu
Bangunan ini adalah sebuah Langgar(Mushalla) yang diperkirakan dibangun pada tahun 1608 M Langgar Kuno. Langgar ini dibangun layaknya sebuah rumah panggung, tiangnya berjumlah 16 dengan ukuran 8 x 8 meter. Yang membuatnya sedikit berbeda adalah adanya mihrab dibagian baratnya yang agak menjorok. Konstruksi Bangunan ini dalam bahasa Bima disebut Uma Pa’a. Karena sambungannya tiangnya dipahat dan dilobangi kemudian disambung antara satu tiang dengan tiang lainnya dan tidak menggunakan paku. Tinggi bangunan ini sekitar 3,5 meter dengan jarak antara tanah dengan papan lantainya sekitar 1,5 meter. Jendelanya berjumlah 8 yang diperkirakan melambangkan 8 orang mubaliq yang mendirikan dan menempati bangunan ini. Sedangkan anak tangganya berjumlah 7 buah yang melambangkan 7 lapis langit dan 7 lapis bumi. Seluruh tiang bangunan ini terbuat dari kayu jati alam yang kuat dan tahan lama. Sedangkan papan dan dindingnya terbuat dari kayu kalango yang ringan tapi kuat dan tahan lama. Secara umum kayu dan papan Langgar ini masih kuat meskipun telah berusia lebih dari 4 abad.

Masjid Kesultanan Bima
Masjid yang terletak di kampung Sigi atau di sebelah selatan lapangan SeraSuba(alun-alun Kota Bima) ini adalah bukti sejarah keemasan kesultanan Bima pada masanya. Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah dengan Wajir Ismail pada tahun 1737. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dengan merubah atap masjid tersbut menjadi bersusun tiga yang mirip dengan masjid Kudus.
Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan pernah hancur akibat pengeboman yang dilakukan oleh Sekutu pada perang dunia  II. Pemugaran masjid itu dilakukan kembali oleh Sultan Bima terakhir, Sultan Muhammad Salahuddin. Sehingga sampai sekarang masjid itu diberinama Masjid Sultan Muhammad Salahuddin. Di sebelah barat Masjid terdapat kuburan sultan dan keluarga Sultan Bima, termasuk kuburan Sultan Abdul Kadim Pendiri masjid tersebut. Kegiatan ibadah di masjid ini cukup ramai, terutama memasuki waktu-waktu shalat.

Makam Di Atas Kota
Tahukah anda bahwa di Kota Bima ada sebuah kuburan bersejarah yang letaknya di atas kota Bima?. Kuburan itu adalah Kuburan Dana Taraha(Tanah Tinggi)  yang merupakan kompleks pemakaman raja-raja dan sultan.Kompleks kuburan Dana Taraha terletak di atas sebuah bukit yang berjarak 1 km dari Terminal Bus Bima. Lokasi ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan roda dua tau roda empat dari terminal Dara Kota Bima dengan mendaki bukit kecil menulusuri jalan yang sudah dihotmix.
Jumlah makam di kompleks pemakaman ini sekitar 25 makam. 21 makam para mubaliq dan 4 makam sultan Bima dan perdana menterinya.  Anda dapat melihat kuburan Sultan Bima Pertama yaitu Sultan Abdul Kahir, petinggi Kerajaan Bima antara lain – Abdul Sama Ompu Lamuni yang dulunya merupakan perdana menteri Kesultanan Bima, Sultan Bima kedua yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin, kuburan Sultan Nurdin yang memerintah antara tahun 1682 – 1687, serta makam sultan Abdul Kahir II, putera dari Sultan Muhamamad Salahuddin. Dari atas bukit Dana Taraha anda akan dapat melihat suasana kota Bima serta keindahan teluk Bima terutama di waktu pagi dan senja. Masyarakat local banyak berdatangan di tempat ini disamping untuk berziarah, juga memanfaatkan waktu untuk berolahraga serta bersantai bersama teman-teman dan keluarga.
Makam Tolobali
Makam Tolobali merupakan tempat dimakamkannya dua Ulama besar Kesultanan Bima yaitu Sultan Abdul Khair Sirajudin (Sultan ke-II Bima) dan Syekh Umar Al-Bantany (Sehe Banta) yang berjasa dalam penyiaran Agama Islam di Kesultanan Bima dan di wilayah-wilayah Indonesia timur.Makam ini berlokasi di Kelurahan Sarae di kampung Tolobali. Sejak tahun 1967 makam ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh H. Umar Harun (Bupati Bima yang ke 4) sehingga dulu pernah dipugar dan dijaga oleh masyarakat sekitar, dan tempat ini juga dijadikan tempat untuk masyarakat berjiarah sebagai tanda penghormatan mereka terhadap Ulama.
Makam Ruma Sakuru
Dinamakan juga Makam Bata. Karena terbuat dari susunan batu bata. Kompleks makam Bata terletak di pemakaman umum Kelurahan Pane Kota Bima. Di sinilah bersemayamjenajah Ruma Sakuru atau Abdul Qurais beserta keturunannya. Dulu, Ruma Sakuru  sejak zaman Kesultanan Bima menjabat sebagai Ruma Bicara (jabatan dalam kesultanan Bima). Ruma Bicara merupakan wakil dari Sultan atau setingkat dengan Perdana Mentri. Ruma Sakuru banyak berjasa membangun nama besar Kesultanan Bima di Reo Manggarai, beliau menduduki jabatan sebagai kepala wilayah Reo, karena Reo Manggarai Timur dulunya termasuk wilayah taklukkan Kesultanan Bima. Kompleks Makam Bata ini terletak di tengah-tengah perkuburan warga di Pane, karena menurut cerita warga semasa hidupnya Ruma Sakuru dulunya memberikan sebagian tanahnya untuk tempat tinggal rakyat jelata dan banyak membantu warga disekitar rumahnya. Tahun 2000 makam Bata ini di pugar dan resmi dijadikan Cagar Budaya oleh pemerintah Kota Bima, dan juga banyak wisatawan lokal berkunjung di makam ini di hari-hari libur mereka, paling banyak saat hari peringatan Maulid. Kompleks makamnya dikelilingi pagar tembok berwana putih, untuk Ruma Sakuru beserta keluarga dan keturunannya.
Jejak Islam Di Nanga Nur
Menjelajahi wilayah Nanga Nur memang cukup melelahkan. Bukit ini berjarak sekitar 3 km dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Sebelum mendaki, kita harus  melewati 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga Nur (Bima, Nanga= Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke- 17.
Di atas bukit Nanga Nur inilah tempat peristirahatan terakhir dari dua ulama besar dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang diutus oleh Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Pintu masuk mereka adalah melalui Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan Abidin penjaga Makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari angin musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki bukit-bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang.
Temba Romba
Di desa Sumi kecamatan Lambu terdapat sebuah Sumur tua yang usianya diperkirakan sekitar lebih dari 3 abad. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Temba Romba. Temba berarti sumur. Romba sejenis kuningan.  Sejarah sumur ini merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari proses islamisasi di tanah Bima yang berawal dari tanah Sape dan Lambu. Bahkan keberadaan Temba Romba ini lebih awal daripada Nanga Nur (Telaga Cahaya) di desa Bugis kecamatan Sape.
Diceritakan kedatangan 4 orang Mubaliq asal Gowa, Luwu, Bone dan Tallo di Pelabuhan Soro Lopi sebelah timur Lambu pada sekitar tahun 1618 M. Kedatangan mereka adalah untuk menyiarkan agama Islam di Bima sambil berdagang. 4 Orang Mubaliq itu seluruhnya memakai jubah yang dalam bahasa Bima disebut Jumba.
Para mubaliq inilah yang dulu menancapkan tombaknya ke tanah sehingga keluarlah mata air dan lama kelamaan menjadi sumur. Sebab saat itu di wilayah Sape dan sekitarnya terjadi musim kering yang berkepanjangan.
Keunikan Rimpu
Busana Rimpu merupakan busana khas masyarakat Bima dan mungkin tidak ditemukan dimanapun di belahan Bumi ini. Busana rimpu mulai tumbuh pesat pada masa kesultanan seiring dengan tuntutan syariat islam untuk menutup aurat. Pada saat itu, setiap wanita yang keluar rumah wajib memakai rimpu dan merupakan sebuah aib bagi keluarga jika mereka keluar rumah tanpa rimpu. Dengan mengenakan dua buah sarung yang satu dipergunakan untuk menutup mulai dari kaki sampai pusar sedangkan yang satunya lagi  dipergunakan untuk menutup bagian atas sampai kepala.
Pada masa lalu, Rimpu terdiri dari dua jenis yaitu :RIMPU CILI : biasa digunakan oleh seorang wanita yang belum berumah tangga. Cili berarti sembunyi dan yang hanya kelihatan hanyalah kelopak mata saja. RIMPU COLO : biasa digunakan oleh seorang wanita yang telah berumah tangga dan yang kelihatan hanyalah wajah).Wanita yang berbusana rimpu banyak ditemui di pasar-pasar dan di pedalaman Bima. (https://alanmalingi.wordpress.com/2012/10/31/menyusuri-jejak-islam-di-tanah-bima/)

Komentar

Eramuslim

Postingan Populer